StaffSite Gunadarma

StaffSite Gunadarma
Staffsite Gunadarma

Selasa, 18 Juni 2019

CONTOH KASUS YANG BERKAITAN DENGAN GOOD GOVERNANCE


Bisa kita lihat pada contoh kasus mengenai ketidakadilan terhadap rakyat kecil,masih ingatkah kita di awal tahun 2012, media cetak maupun media elektronik memberitakan kasus mengenai “Gerakan Sandal Japit” ? Hanya karena sepasang sandal jepit bekas, seorang pelajar SMU di Palu, Sulawesi Tengah, harus berurusan dengan pengadilan. Anjar Andreas Lagaronda nama pelajar itu, dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi.Pengadilan tak kalah garang terhadap pelajar belia itu. Pelajar malang itu diancam hukuman 5 tahun penjara. Rasa keadilan masyarakat pun terkoyak.
Sandal jepit dan rakyat jelata memiliki nasib yang sama: sama-sama terkecualikan dan terdiskriminasi oleh sistem. Sandal jepit kadang diperlukan pada waktu-waktu tertentu saja: saat hujan, jalan-jalan santai atau pergi ke WC. Begitu pula nasib rakyat jelata: mereka hanya diperlukan pada saat pemilu atau pilkada.
Sekarang, kita coba melihat bagaimana sulitnya aparat penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan, tersangka sakit, dan lain-lain.Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah, sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perwujudan good governance di Indonesia masih sangat lemah. Upaya kearah sana kiranya masih memerlukan perjuangan yang panjang.
Dari contoh kasus “Sendal japit” yang diceritakan, hukum di Indonesia masih tebang pilih, terlihat sangat jelas bahwa hukum itu begitu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, rakyat kecil dengan keawamannya dalam dunia hukum mereka perlakukan bak seekor singa yang hendak menerkam mangsanya, dan  sebaliknya bagi pelaku-pelaku koruptor dan penjahat-penjahat kelas kakap yang berkantong tebal, aparat seolah-olah sangat lembek terhadap mereka.
            Supremasi hukum masih mendapat kendala dalam iklim demokrasi di Indonesia. Pranata hukum belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat. Karena itu sangat sulit menemukan capaian prestasi di bidang hukum yang mencerminkan keadilan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah memvonis terdakwa pencurian sandal jepit tersebut bersalah melakukan perbuatan pidana.
Semangat para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas sandal jepit tersebut rasanya sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini. Sementara para koruptor yang terbukti memiskinkan jutaan rakyat tak berdosa bisa bebas berkeliaran tanpa bisa tersentuh hukum. Beberapa kasus korupsi yang tengah  diproses  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  pun  hanya  berputar ‑ putar atau jalan di tempat. Tak heran bila masyarakat merasakan pesimisme bahwa lembaga yudikatif dalam menegakkan keadilan serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum. Fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal yang sebaliknya. Alih-alih memberi rasa keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh harapan terakhir mereka.
Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh yang melibatkan mereka yang tanpa daya. Dunia hukum pun beralih rupa menjadi tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat. Padahal, umum diyakini bahwa hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Bila menilik secara hukum positif di Indonesia, sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  Pasal 45  dinyatakan  bahwa  tindak pidana yang  dilakukan  orang  dewasa  sama  dengan  yang  dilakukan  anak. Karena itu, penyidikannya mengikuti  penyidikan orang dewasa sebagaimana yang diatur jika tersangka khawatir melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengurangi tindak pidana, dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut dipenuhi, tindakan penahanan dianggap sah. Hal yang masih mengganjal secara hukum, menyangkut definisi anak, tampaknya sampai sekarang belum ada ketentuan pasti. Batasan umur anak di bawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP menentukan 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan 17 tahun, Pasal 287-293 menentukan 15 tahun. Sedangkan dalam UU Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusia mencapai 21 tahun. Sementara itu, kasus seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik. Artinya, hukum masih hanya dapat dipahami profesional di bidang hukum. Logika awam tampaknya tak mencukupi untuk memahami bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik  halus maupun  dengan  kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut. Memang kasus sandal jepit ini menjadi murni ditilik dari segi hukum karena Indonesia hanya mengenal satu sistem hukum pidana. Perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa kemudian bermuara pada pengadilan.
Berbeda yang berlaku misalnya di Timur Tengah. Di satu sisi, ada sanksi kejam misalnya potong tangan, namun ada pemberlakuan mekanisme maaf melalui lembaga pemaafan. Sedangkan yang berlaku di negeri kita mempunyai akibat secara yuridis normatif bahwa perkara pidana sekecil apa pun harus tetap diproses di pengadilan, termasuk  pencurian sandal jepit. kasus pencurian sandal jepit juga menjadi salah satu bukti mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak. Melalui RUU Sistem Peradilan Anak, anak-anak yang tersangkut hukum seharusnya tidak dijebloskan  ke  penjara.  Pelajaran  berharga utama  dari  kasus  ini  kiranya  adalah  perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Dalam proses pembenahan inilah diperlukan adanya kerja sama antara pihak pemerintah, swasta, dan juga masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar