Bisa kita lihat pada contoh kasus
mengenai ketidakadilan terhadap rakyat kecil,masih ingatkah kita di awal tahun
2012, media cetak maupun media elektronik memberitakan kasus mengenai “Gerakan
Sandal Japit” ? Hanya karena sepasang sandal jepit bekas, seorang pelajar SMU
di Palu, Sulawesi Tengah, harus berurusan dengan pengadilan. Anjar Andreas
Lagaronda nama pelajar itu, dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota
polisi.Pengadilan tak kalah garang terhadap pelajar belia itu. Pelajar malang
itu diancam hukuman 5 tahun penjara. Rasa keadilan masyarakat pun terkoyak.
Sandal jepit dan rakyat jelata memiliki nasib yang sama:
sama-sama terkecualikan dan terdiskriminasi oleh sistem. Sandal jepit kadang
diperlukan pada waktu-waktu tertentu saja: saat hujan, jalan-jalan santai atau
pergi ke WC. Begitu pula nasib rakyat jelata: mereka hanya diperlukan pada saat
pemilu atau pilkada.
Sekarang, kita coba melihat bagaimana sulitnya aparat
penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti
awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu
alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan,
tersangka sakit, dan lain-lain.Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan
terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah,
sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perwujudan good
governance di Indonesia masih sangat lemah. Upaya kearah sana kiranya masih
memerlukan perjuangan yang panjang.
Dari contoh kasus “Sendal japit” yang diceritakan,
hukum di Indonesia masih tebang pilih, terlihat sangat jelas bahwa hukum itu
begitu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, rakyat kecil dengan keawamannya
dalam dunia hukum mereka perlakukan bak seekor singa yang hendak menerkam
mangsanya, dan sebaliknya bagi pelaku-pelaku koruptor dan
penjahat-penjahat kelas kakap yang berkantong tebal, aparat seolah-olah sangat
lembek terhadap mereka.
Supremasi hukum masih mendapat kendala dalam iklim demokrasi di Indonesia.
Pranata hukum belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menghadirkan keadilan di
tengah masyarakat. Karena itu sangat sulit menemukan capaian prestasi di bidang
hukum yang mencerminkan keadilan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu,
Sulawesi Tengah memvonis terdakwa pencurian sandal jepit tersebut bersalah
melakukan perbuatan pidana.
Semangat para penegak hukum dalam mengadili
kasus-kasus kelas sandal jepit tersebut rasanya sungguh mencengangkan sekaligus
melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini. Sementara para koruptor yang
terbukti memiskinkan jutaan rakyat tak berdosa bisa bebas berkeliaran tanpa
bisa tersentuh hukum. Beberapa kasus korupsi yang tengah diproses
Komisi Pemberantasan Korupsi pun hanya
berputar ‑ putar atau jalan di tempat. Tak heran
bila masyarakat merasakan pesimisme bahwa lembaga yudikatif dalam menegakkan
keadilan serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum. Fakta-fakta yang
muncul membuktikan hal-hal yang sebaliknya. Alih-alih memberi rasa keadilan
kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang berlangsung
justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh harapan
terakhir mereka.
Berkali-kali kita menyaksikan betapa
supremasi hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus
remeh-temeh yang melibatkan mereka yang tanpa daya. Dunia hukum pun
beralih rupa menjadi tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani
rakyat. Padahal, umum diyakini bahwa hukum adalah norma, aturan yang bertujuan
menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan.
Bila menilik secara hukum positif di Indonesia, sanksi terhadap anak-anak yang
melakukan kejahatan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal
45 dinyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan
orang dewasa sama dengan yang dilakukan
anak. Karena itu, penyidikannya mengikuti penyidikan orang dewasa
sebagaimana yang diatur jika tersangka khawatir melarikan diri, menghilangkan
barang bukti, mengurangi tindak pidana, dan ancaman hukumannya lebih dari lima
tahun. Jika kriteria tersebut dipenuhi, tindakan penahanan dianggap sah. Hal
yang masih mengganjal secara hukum, menyangkut definisi anak, tampaknya sampai
sekarang belum ada ketentuan pasti. Batasan umur anak di bawah umur juga
berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP menentukan 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan 17
tahun, Pasal 287-293 menentukan 15 tahun. Sedangkan dalam UU Kesejahteraan Anak
Nomor 4 Tahun 1979, anak-anak adalah mereka yang belum
berusia mencapai 21 tahun. Sementara itu, kasus seperti ini
memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu
amat esoterik. Artinya, hukum masih hanya dapat dipahami profesional di bidang
hukum. Logika awam tampaknya tak mencukupi untuk memahami bahasa, istilah,
konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan.
Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan
muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan
kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum
untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut. Memang kasus sandal
jepit ini menjadi murni ditilik dari segi hukum karena Indonesia hanya mengenal
satu sistem hukum pidana. Perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa
kemudian bermuara pada pengadilan.
Berbeda
yang berlaku misalnya di Timur Tengah. Di satu sisi, ada sanksi kejam misalnya
potong tangan, namun ada pemberlakuan mekanisme maaf melalui lembaga pemaafan.
Sedangkan yang berlaku di negeri kita mempunyai akibat secara yuridis normatif
bahwa perkara pidana sekecil apa pun harus tetap diproses di pengadilan,
termasuk pencurian sandal jepit. kasus
pencurian sandal jepit juga menjadi salah satu bukti mendesaknya pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak. Melalui RUU Sistem
Peradilan Anak, anak-anak yang tersangkut hukum seharusnya tidak
dijebloskan ke penjara.
Pelajaran berharga utama dari
kasus ini kiranya
adalah perlunya pembenahan
terhadap sistem peradilan pidana. Dalam proses pembenahan inilah diperlukan
adanya kerja sama antara pihak pemerintah, swasta, dan juga masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar